Generate Your Own Glitter Graphics @ GlitterYourWay.com - Image hosted by ImageShack.us

Thursday, August 2, 2007

Ah, Jika saja Mereka Tahu…



”Assalaamu ’alaykum…” tidak terdengar salam dari musholla bagian putri. …………………………. Tidak ada jawaban. Gak kedengeran sih!
Thok…thok…thok…..!!
“Assalaamu ‘alaykum….” kali ini terdengar, karena lebih keras dan didahului ketukan keras pada hijab pembatas.
“Eh…. Wa ’alaykumussalaam wa rahmatullaah…” jawab Hasan setelah bergegas mendekati sumber suara.
“Ini siapa ya?” sambut suara yang sama dengan yang mengucap salam.
“Lho??” Hasan mengerutkan kening, “…lha kamu nyari siapa, kok malah nanya?”
“Emm…. ini Rena sama Maya. Yang di situ siapa?” sahut suara yang mengaku bernama Rena.
Hasan manggut-manggut, ”Oo Rena…, saya Hasan. Ada apa?”
” Mmm… Pak Hasan, boleh minta bantuan ndak?” tanya Rena.
”Ada apa?” tanya Hasan. Agak merasa aneh, malam-malam seperti ini kok masih ada anak perempuan ’berkeliaran’ di kampus.
”Boleh minta bantuan kan?”
”Iya…iya…, langsung aja to. Ada apa sih?” sergah Hasan, agak mulai tidak sabar.
”Gini, Pak. Ini kan sudah malam, kan nggak baik bagi akhwat kalau malam-malam di jalan. Bisa minta tolong dianter nggak?” jawab Rena.
”Eh…iya, kok bisa, malam-malam begini kalian masih di kampus? Sudah hampir jam sembilan lho.” Yang ditanya balik bertanya.
”Tadi kan praktikum, lama soalnya sempat ngulangi eksperimennya, prosedurnya ada yang salah sih. Selesainya sekitar setengah delapanan. Lalu membahas laporan sementara dan perhitungan. Jadi ya sampai jam segini. Pak Hasan bisa nganter kami kan?” Rena menjelaskan keadaan mereka. Dari tadi Rena terus yang bicara. Sepertinya memang jadi juru bicaranya nih. Eh, ngerasa ada yang janggal nggak sih, Hasan yang masih muda gitu dipanggil ’Pak’? Tidak ada penjelasan khusus mengenai ini sih, cuma kebiasaan anak-anak musholla aja kalau memanggil yang laki-laki dengan sebutan Pak.
Hasan berpikir sejenak, ”Hmm… dianter ke mana ya?”
”Ke Daarus-Sholihat….” jawab Rena. Daarus-Sholihat (DS) adalah salah satu pesantren mahasiswi di Yogyakarta, letaknya cukup dekat dengan kampus UGM. Setiap tahun ada saja mahasiswi yang sekaligus menjadi santri di pesantren ini. Sampai saat ini pesantren mahasiswi itu masih di bawah pengelolaan dan pembinaan Ustadz Syathori Abdurrouf. Kalau tidak salah slogan pesantren itu seperti ini; ”Melabuh Damai Menggapai Ridhlo Ilahi”. Keren yah?
”Ooo…mmm… emangnya harus dianter ya?” tanya Hasan kayak orang bego.
”Iya, kan nanti lewat persawahan juga, di sana tuh gelap dan sepi. Nanti kalau….” kembali Rena menjelaskan kekhawatiran jika mereka berjalan sendiri tanpa ada yang mengawal. Kemungkinan bahaya yang ada memang cukup besar.
”Eh…kan bisa lewat utara kan? Lewat Jakal lalu Ring road, kan ada jalan serong ke kiri tuh yang tembusan selokan. Ke Daarus-Sholihat bisa lewat sana kan?” Ah, kayaknya Hasan emang bodoh tuh.
Entah kenapa Hasan saat itu kurang sensitif. Terlalu bertele-tele, tidak sigap dalam memberikan bantuan. Padahal dalam keadaan seperti itu, harusnya dia langsung tanggap, bahwa keselamatan wanita dipertaruhkan. Secara hukum syar’i, wanita kan tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi mahramnya. Apalagi ini malam-malam, sudah cukup larut lagi. Seharusnya dia sadar akan hal itu kemudian segera mengantar mereka tanpa banyak bicara lagi. Mungkin sedang lupa. Tapi, bisakah dimaklumi?
”Eh… saya kan sama Larso nih… kalau Larso aja yang ngantar gimana?” Huuhh… kok Hasan ’jual mahal’ banget sih? Cuma diminta nganter gitu aja kok…
Hasan segera mendatangi tempat Larso sedang duduk santai. ”Hei… Larso, bisa nggak nganter Rena sama Maya, ke Daarus-Sholihat?”
”Di mana tuh Mas?” tanya Larso. Mukanya terlihat gimana gitu, kelihatan banget kalau nggak minat, alias keberatan bin tidak mau.
Hasan segera menjawab, ”Dekat Ring Road, Jakal ke Barat. Nanti kamu ngikutin mereka aja. Arah rumah kamu juga ke sana kan?”
”Eh…nggak je Mas, saya ke selatan tuh.” sahut Larso.
”Tapi bisa kan?” Hasan bertanya dengan agak menekan.
”Emmm… Mas aja deh. Kan sudah tahu tempatnya.” Larso menyatakan ketidak sanggupan, dari tadi mukanya menyiratkan kalau memang tidak mau.
Hasan berfikir sebentar. ”Ya sudah, biar aku saja.” Segera Hasan kembali ke tempat dua cewek kemaleman tadi menunggu. Tidak kelihatan kayak apa wujud mereka, soalnya memang di musholla itu dipasang hijab, untuk menghalangi pandangan antara bagian putra dan bagian putri. Kata anak-anak musholla, menjaga pandangan tuh perintah Allah, apalagi di tempat ibadah seperti ini. Biar hati dan niat kita lebih bersih. Begitu kata mereka, yang lebih sering memakai istilah ghadul bashar daripada menjaga pandangan. Kalau orang awam yang gak ngarti al lughotu al Arabiyyah (baca aja : bahasa Arab), bisa-bisa kepleset jadi ”gundul bagor”. He… he… he….. bodoh!
”Rena…” panggil Hasan.
”Ya? Gimana, Pak?” tanya Rena dengan nada berharap.
”OK. Biar saya deh, yang akan nganter kalian, saya tunggu di gerbang depan ya?” Akhirnya… Hei Hasan, dari tadi kek, mau nganternya. Apa sih yang bikin lu bodoh kayak tadi??
”Alhamdulillaah….” kata mereka bersamaan, terdengar lega. ”… kami ngambil motor di parkiran dulu ya.” kata Rena.
Hasan berjalan menuju gerbang timur fakultas Teknologi Pertanian (TP) UGM. Hari itu adalah salah satu hari dimana Hasan harus pulang malam. Jarang sekali Hasan bisa pulang siang hari, bahkan tidak jarang dia harus rela tidak pulang alias menginap. Jarak rumahnya dengan kampus memang lumayan jauh, sehingga kalau sampai terlalu malam, Hasan memilih menginap. Kalau pulang sia-sia, cuma numpang tidur habis itu paginya harus ke kampus lagi. Gitu katanya. Semua itu tidak lain karena agenda, tugas dan tanggung jawab keorganisasian yang cukup meminta waktu. Meski begitu, Hasan merasa enjoy-enjoy saja. Bahkan katanya, yang seperti itu bisa bikin hidup lebih hidup, daripada jadi mahasiswa yang saban hari cuma berkutat kost-kelas-perpus-kantin. Nggak dinamis tuh, katanya lagi. Gak tahu, sok jadi aktivis tuh anak.
Beberapa saat setelah sampai di gerbang timur fakultas, terlihat pengendara motor berboncengan. Siapa lagi kalau bukan Rena dan Maya. Sosok mereka sekarang sudah bisa dilihat, dua orang cewek berjilbab panjang. Cewek-cewek model begitu yang biasanya jadi aktivis musholla di kalangan perempuan. Cewek dengan pakaian longgar dan tertutup, mengenakan jilbab panjang dan lebar hingga sepinggang, bahkan tidak sedikit pula yang lebih panjang dari itu. Anak-anak musholla menyebut kalangan wanita berpenampilan seperti itu dengan sebutan akhwat. Walaupun secara arti kata, akhwat itu berarti saudara perempuan, yang artinya bahwa setiap perempuan muslim bisa disebut akhwat (karena setiap muslim memang bersaudara, begitu kata salah satu hadits). Namun dalam prakteknya nyata terasa bahwa kata itu menunjuk golongan tertentu.
Biasanya para akhwat diidentikkan sebagai wanita yang pemahaman keIslamannya lebih baik dari wanita biasa. Dan juga memiliki kesadaran untuk menyebarkan pemahaman itu kepada yang lain (berda’wah) melalui berbagai sarana yang ada. Salah satunya yang pasti lewat Lembaga Da’wah tentunya. Untuk diketahui saja, Lembaga Da’wah tingkat fakultas di FTP UGM bernama KMMTP. Kepanjangannya sih Keluarga Mahasiswa Muslim Teknologi Pertanian. Panjang yach?
Ketika melihat mereka, segera Hasan berseru, ”Kalian duluan saja. Nanti tunggu saya di gerbang utara di dekat fakultas Pertanian. Saya akan ke sana. Nanti saya ngambil motor dulu di kost teman.” Kemudian Hasan berjalan menyusuri jalan beraspal di sebelah timur FTP ke arah utara. FTP UGM berada satu komplek dengan beberapa fakultas lain pada rumpun yang sama, rumpun Agrokompleks. Di sebelah timur FTP ada fakultas Pertanian, sedang di sebelah utaranya ada fakultas Kehutanan.
Setelah sampai pada tempat yang dijanjikan, Hasan bertanya-tanya dalam hati, kok dua orang tadi nggak ada? Ke mana mereka? Jangan-jangan mereka tidak paham yang kumaksud, pikir Hasan. Tiba-tiba HP-nya ber-tat-tit-tut, sebuah SMS masuk.
”Kami tunggu di perempatan Jakal.” Begitu bunyi SMS itu.
Lho, tadi kan kusuruh nunggu di sini. Gimana sih? Tapi OK deh, aku akan ngambil motor ke tempat Budi dulu, Hasan membatin. Hasan tidak bisa membalas SMS, soalnya pulsanya emang lagi bokek. Biarlah mereka menunggu sebentar, pikirnya. Setelah sampai di kost temannya, Budi, sambil ngobrol sedikit Hasan meminjam motor temannya sekalian. Sebenarnya motornya pun di sana, tapi karena lampu depan motornya mati, dan nanti juga mau pulang ke rumah, jadi butuh motor yang lebih terjamin keamananannya.
Setelah pamit, Hasan berangkat secepatnya menyusul kedua akhwat tadi. Setelah sampai di Jakal, Hasan menjalankan motor lebih pelan, mengamati di sepanjang Jalan Kaliurang terutama di tiap perempatan. Hasan bingung, perempatan yang mana ya? Hasan masih terus mengawasi hingga sampai ke Ring Road, kemudian belok ke kiri dan mau masuk jalan serong. Eh, sepertinya ada bunyi tat-tit-tut. Dengan segera Hasan mengecek HP-nya.
”Terima kasih! Kami sudah sampai. Ternyata ikhwan TP nggak peka sama keselamatan akhwat! Maaf sudah merepotkan!! ” begitu kata-kata dalam SMS itu.
Degg!! Hasan tertegun. Membaca ulang isi SMS itu. Hasan coba mengingat apa saja yang terjadi tadi. Beberapa saat kemudian muncul perasaan menyesal dan sedikit terpukul dalam dirinya. Mengapa tadi tidak segera meluluskan permintaan bantuan itu, tidak malah justru bertele-tele dan terkesan berkeberatan? Padahal, seharusnya dia ingat bahwa menjaga saudaranya, khususnya yang perempuan, adalah salah satu kewajibannya selaku seorang laki-laki yang prioritas. Hasan sangat menyesal akan hal ini, mengetahui bahwa akhirnya dua akhwat tadi harus pulang sendiri, mengetahui bahwa bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun sekarang dia sudah tahu bahwa mereka telah sampai dengan selamat. Tapi bagaimana dengan Maya, dia belum tahu, soalnya dia tinggal di rumah sendiri, bukan di DS. Maya pun hanya mengantar Rena, sedang rumahnya sendiri ada di Jakal (jalan Kaliurang) beberapa kilometer dari Ring Road ke utara.
Hasan menyesal, mengapa tadi mempersulit urusan. Juga mengapa tadi tidak menjelaskan mekanismenya dengan jelas. Padahal aku tadi sudah berniat mengantar mereka, tapi mungkin mereka kurang memahami apa yang kukatakan tadi, pikirnya. Meski tadi bersikap acuh dan terlihat keberatan, sebenarnya di dasar hatinya, ada rasa cinta yang begitu besar pada saudara seaqidahnya, tentu termasuk dua akhwat tadi. “Ah, jika saja kalian tahu, bahwa aku rela mempertaruhkan nyawaku ini demi membela keselamatan dan kehormatan kalian…” rutuk Hasan. *** (Shirotsuya )

No comments:

Your Comment